Friday, September 5, 2008

Biarkan Aku Mencintaimu

Di luar sedang hujan, tiupan angin kencang membuat jarum-jarum air itu mengarah miring, memukul-mukul jendela kaca. Siang yang suram. Sesuram hati May. Gadis itu menatap ke luar dari meja kerjanya yang tepat di sisi jendela. Di mejanya kertas kerja menumpuk dengan angkuhnya menghadap May yang saat itu sedang bertopang dagu.
May melirik tumpukan itu dengan sebal. “Jason sialan,” umpatnya dalam hati, “Tidak pernah senang melihat aku punya waktu luang.”
Ogah-ogahan May menarik bundelan teratas dan mulai bekerja. Atau sore ini dia akan digiling manager pemasarannya yang baru masuk kerja sebulan yang lalu.


Jason masih ingat dengan jelas, sebulan yang lalu di hari pertama dia berada di perusahaan ini. Matanya terpaku pada seorang gadis mungil berambut lurus yang diperkenalkan oleh Susi- kepala divisi pengolahan data penjualan.- sebagai salah satu anak buahnya pada saat meeting divisi marketing.
“Jangan pernah jatuh cinta kepadanya,” Brian -asistennya- tertawa masam ketika dia menyinggung sekilas gadis tadi, “Itu si Gunung Es. Tak pernah ramah terhadap lelaki. Aku malah curiga, jangan-jangan dia itu ….”
Dan benar, dua hari kemudian Jason terkena sengatannya. Candaan yang ditujukan kepada May, yang dianggapnya sebagai penyegar dalam meeting mereka yang kaku itu dibalas gadis itu dengan pedas. Wajah Jason merah padam, tapi masih bisa mengendalikan dirinya dan menyelamatkan mukanya sendiri.
Sejak itu, genderang perang dimulai. Meja kerja May perlahan-lahan semakin tinggi dengan tumpukan kertas kerja dari Jason. Sedangkan May sendiri juga dengan arogannya menerima semua beban kerja tambahan itu, walaupun sering diiringi dengan adu debat dengan managernya itu, dilengkapi dengan sindiran-sindiran tajam, khas seorang May.


Seperti saat ini juga, pagi-pagi May sudah membanting meja dengan tugas baru dari Jason, yang diterimanya barusan ketika menyerahkan kerjaan yang semalam sempat dibawanya pulang rumah. Sally melirik dari tempatnya yang tepat berhadapan dengan meja kerja May.
“Lemburan lagi, eh ?” celetuknya sambil mengerutkan bibirnya. Tangannya tetap sibuk memegang pena menelusuri angka-angka di kertas kerjanya sendiri.
“Orang gila,” omel May sambil duduk dan mulai membolak-balik lembaran kertas dengan kasar, “ sepertinya terus-terusan cari masalah denganku.”
Juni yang duduk di samping meja May terkekeh ,”Siapa suruh kamu mempermalukan dia waktu itu. Tahukah kamu, betapa merah padamnya muka Jason ketika kamu menjawabnya dengan pedas.”
“Ah .. dia yang menyindirku duluan,” May membela diri.
“Oh my dear, dia hanya bercanda,” tukas Sally tidak sabar, “ Kamu yang terlalu sensitive dengan ucapannya. Say … kenapa kamu selalu saja berseteru dengan lelaki ?”
“Lelaki ..?” May tersenyum kecut, “ atau karena Jason memang tampan, jadi kalian semua berpihak kepadanya ?”
“Oh em jiiii,”pekik Juni menggelengkan kepalanya, rambutnya yang pendek ikut terkibas,” yang waras sedikit, mbok ! Kita berbicara soal fakta. Aku jadi curiga, jangan-jangan kamu naksir Jason …”
“What the hell,” May mengibas-ngibaskan tangannya seperti sedang mengusir lalat, ”Si penyiksa itu ? Dibayar juga tidak sudi. Sudah! Jangan bicara tentang dia lagi, sebelum kerjaanku belum selesai aku sudah stroke duluan mendengar namanya !”
Kedua gadis di depan dan di sampingnya terkekeh-kekeh.
“Bakalan lembur sampai malam aku di sini,” umpat May dengan kesal.


“Wah, lembur ya, Bu ?” tiba-tiba suara cowok menyapa May yang sedang menunggu di depan lift sambil memeluk setumpuk file. Bah, si Jason lagi, gerutunya. Lelaki itu berdiri di sampingnya dengan santai, ikut menunggu lift.
“Iya, namanya juga karyawan yang rajin,” balas May sambil melirik tajam ke arah Jason. Siapa sebenarnya biang keroknya penyebab aku lembur, omelnya dalam hati. “Tumben, bapak manager kita ini juga lembur malam ini. Biasanya kan selalu cabut tepat waktu.”
Jason tertawa renyah. Sebenarnya tawa yang sangat menarik hati, tapi tidak untuk hati seorang May yang sedang sibuk mengutuk-ngutuk lelaki tampan di sampingnya itu.
Pintu lift terbuka dan mereka masuk. Tidak ada percakapan dalam lift, May membelakangi Jason sambil terus-terusan melirik jam tangannya. Jam delapan. May mendesah, sinetronku ketinggalan lagi. Sementara Jason diam-diam mengamati gadis itu.
Rambut hitam panjang berkilau, mata bulat dengan alis yang bagus, hidung mancung mungil dan bibir yang merah jambu merekah walaupun tanpa lipstick. Mirip boneka, Jason menilai dalam hati, tapi … tingkahnya ajaib. Dan dengar-dengar kalau dia tidak pernah pacaran. Tanda tanya yang sangat besar, what happened with her ? Ah, peduli amat, Jason mengibas penasaran yang tiba-tiba muncul di hatinya. Bukan urusanku.
Pintu lift terbuka, May keluar duluan menuju areal parkir, diikuti Jason. Mereka masih berjalan tanpa percakapan sama sekali. Mobil May diparkir di tempat yang agak gelap dan lebih jauh dari mobil Jason. Sambil melirik sekilas lagi ke arah May, Jason membuka pintu mobil.
Tiba-tiba terdengar jeritan panik May diikuti suara file yang jatuh ke tanah. Spontan Jason berlari ke arah asal jeritan. Di sana terlihat May yang pucat, matanya melihat ke arah sisi dinding penghalang, tepat di depan mobilnya. Darah bercecer di sekitar lantai, seekor kucing mati, yang terlindas mobil dalam keadaan mengenaskan dan dilempar begitu saja di sana.
Jason ragu-ragu menyentuh lengan May. Tapi tubuhnya bergetar keras. Ekspresi gadis itu, tiba-tiba menyentak Jason, mengingatkan dia pada sesuatu. Tanpa sadar Jason meraih May dan memeluknya. Tubuh May mengigil keras dalam pelukannya. Lagi-lagi secara spontan Jason mempererat dekapannya dan menghiburnya dengan lembut.
Ada perasaan aneh yang menjalar di hati Jason. Perasaan ini, yang pernah terasa sangat familiar, dan tidak pernah ada lagi sejak sepuluh tahun yang lalu. Begitu hangat, begitu damai. Membangkitkan kenangan yang telah terkubur begitu lama.
Perlahan May mulai tenang. Matanya masih tertutup. Jason menunggu dengan sabar.
“Bagaimana keadaanmu sekarang,” katanya lembut, berbeda sekali dengan nada yang biasa dipakai sewaktu bersitegang dengan gadis yang ada di pelukannya saat ini. May membuka matanya. “ Jangan melihat ke sana. Aku bukakan pintu untukmu, dan kamu segera mundurkan mobilmu dan pulang.”
Jason melepaskan tangannya dari May yang tiba-tiba memerah wajahnya. Tapi ketakutannya itu masih tersisa. Tanpa bicara May mengikuti instruksi Jason dan segera menghidupkan mobilnya.
“Hati-hati di jalan,” pesan Jason sebelum menyerahkan file gadis itu dan menutup pintu mobil. May mengangguk dan menukar gigi mobil. Lelaki itu memandang mobil gadis itu yang kian menjauh.
Gadis ini menyimpan sesuatu, batin Jason. Dia berjalan ke arah mobilnya dan pulang.


May terus-terusan memarahi dirinya sendiri di mobil. Menyalahkan dirinya yang pasrah begitu saja dipeluk Jason, sang manager yang sangat dibencinya itu. Memaki dirinya yang langsung panik ketika melihat darah dan kucing itu. Tapi, di hati kecilnya itu, juga ikut menjalar sebuah perasaan aneh. Perasaan yang aman ketika tangan kokoh itu memeluknya dengan erat, perasaan hangat ketika Jason menyentuh kepalanya dengan lembut dan suara lelaki yang membujuknya itu .. begitu menyejukkan.
Tiba-tiba rasa nyeri menyeruak begitu saja. Luka hatinya, yang seharusnya sudah lama sembuh, malam ini kembali menganga. May memukul setir mobil dengan geram.


Sally menatap May yang baru masuk dengan tatapan aneh, seakan-akan gadis itu berasal dari luar angkasa. “Ada apa ?” May menyipitkan matanya.
“Tumben,hari ini tipis. Biasanya kan segunung,” balas Sally sambil cekikikan. May melotot. Memang di tangannya hanya sedikit kerjaan yang diberikan Jason. Lelaki itu melunak setelah insiden semalam. Walaupun cara berbicaranya masih tetap tegas – berbeda sekali dengan malam sebelumnya – tapi tidak menyindir May dengan tajam lagi.
Brian memperhatikan perubahan sikap pimpinannya.
“Hm… hari ini kamu jadi sangat murah hati, kelihatannya. ”
Jason menatapnya sekejap sebelum melanjutkan ketikannya di komputer. “Maksudmu ?”
“Kamu tidak menyiksa May hari ini.” Brian terkekeh pelan. “Apa yang terjadi ?”
Jason tidak mempedulikan pertanyaan asistennya.


May membanting pintu apartemennya, melempar kunci mobilnya ke sofa dan melangkah ke kamar mandinya yang mungil. Dibukanya keran air di wastafel besar-besar dan membasahi wajahnya berulang kali. Gadis itu mengangkat kepalanya dan memperhatikan wajahnya dengan bingung. Air keran masih mengalir dengan deras.
“Apa yang terjadi denganmu, May,” dia bertanya pada bayangannya. Tanpa bisa ditahannya, kejadian tadi sore berputar lagi di pikirannya.
May sedang mengaduk kopinya. Sore ini memang lagi banyak tugas lembur. Dan kali ini sebenarnya semua diwajibkan lembur. Namun berhubung Sally sudah selesai dan Juni harus pulang lebih cepat karena anaknya sakit, tinggal May seorang yang harus mengerjakan tugas bagian Juni yang tinggal sedikit lagi. Secangkir kopi bisa membuat konsentrasiku lebih baik, pikir May membawa kopinya dan membalikkan tubuhnya, bermaksud berjalan ke ruangannya.
Ups !! Kopinya menabrak Jason yang tiba-tiba saja berada di belakangnya . Jason masih sempat menghindar, namun kemejanya itu tetap masih basah ternoda kopi buatan May. May terpekik pelan. Dengan panik gadis itu berbalik dan mencari tisu.
Untung ada. May segera menarik beberapa lembar dan mengelap kemeja managernya yang basah itu. Tiba-tiba May tersadar kalau gerakannya terhenti, tangan Jason sedang menggenggam pergelangan tangannya.
Lelaki itu menatapnya dalam jarak dekat dengan sinar matanya yang lembut. May terpana. Pandangan itu, seperti sebuah telaga bening yang tenang dan menghanyutkan. Lalu lelaki itu mendekatkan wajahnya ke gadis itu, dan mencium bibirnya. Begitu hangat dan lembut. May menutup matanya. Terhanyut. Ada perasaan rindu yang tiba-tiba memberontak. Namun tiba-tiba dia tersentak, membuka matanya dan kembali ke alam sadar. Didorongnya tubuh lelaki itu dan cepat-cepat bangkit lalu berjalan ke ruangannya.
May menutup keran wastafel. Meraih handuk kecil yang tergantung di sisinya dan mengelap wajahnya. Mengapa aku membiarkan dia begitu saja, mengapa aku tidak bisa menolak, May menatap bayangannya di cermin lagi. Ke mana perginya pertahanan yang dibangun bertahun-tahun ini. Pertahanan yang disangka telah sangat kokoh.


Pintu VIP Karaoke Room terbuka. Beberapa lelaki dan wanita di dalamnya mendongak. Ada yang sedang bernyanyi, ada yang sedang tertawa bercanda sambil memegang gelas minuman. Seorang lelaki berbaju hitam berdiri dan merentangkan tangannya. Lalu merangkul lelaki yang baru masuk tadi.
“Jason, malam ini sendirian lagi ? Mana gandenganmu, sudah 2 kali kulihat kamu datang dengan tangan kosong.”
Jason tersenyum tipis. Lalu mengikuti George, pria tadi , dan menyapa tamu-tamu yang duduk.
“Hei, Bro ! Ini malam minggu, jangan muram begitu,” sapa Steve sambil mengangkat gelasnya,” ambil gelas, kutuangkan minuman untukmu. Mana gadismu ?”
Jason tertawa sambil mengambil gelas. “Sedang tidak ada mood nih.”
“What !” Steve menggeleng-gelengkan kepala, “Andi, carikan teman untuk dia. Masa kita semua punya teman, dia duduk sendirian di sini. Mana solidaritas kalian.”
“Siip,” Andi mengedipkan mata, lalu melihat ke arah perempuan yang duduk di sisi kirinya, “Linda, temani dia.”
Tanpa disuruh dua kali, perempuan berbaju agak seksi itu langsung bangkit, berjalan ke arah Jason dan duduk di sampingnya. Jason tersenyum tipis. Lalu meneguk minumannya.
“Man, kelihatan sekali malam ini kamu tidak punya mood,” seru Steve,” ke mana perginya spirit cassanova kita ini ? Biasanya selalu membawa gadis-gadis cantik yang berbeda setiap minggunya. Ayo.. Linda, hibur hatinya.”
Linda mulai merangkul Jason. Lelaki itu masih tidak bereaksi. Perempuan itu semakin mempererat pelukannya. Jason tiba-tiba menepis pelukan itu dan berdiri.
“Sorry, Bro. Aku ke toilet sebentar. Be right back.” Jason membuka pintu kamar dan keluar. Para lelaki itu berpandang-pandangan.
Jason menopang kedua tangannya di wastafel sambil menundukkan kepalanya. Tiba-tiba ada yang menepuk bahunya. Jason menoleh. Ternyata George mengikutinya.
Ada apa denganmu. Kalau ada masalah, katakan saja. Percuma kita teman lama.”
Jason menatapnya sebentar, lalu memandang ke bayangannya di depan. Betapa berbedanya dia malam ini. Memang muram. Dia tersenyum kecut.
“Seorang gadis ?” Tebak temannya.
“Masalah yang sepele, bukan ?”
“Siapa dia ? Yang sanggup mengubah hati dinginmu dengan drastis ? Dia pasti bukan perempuan biasa.”
“Aku tidak ingin kehilangan dia. Sepuluh tahun yang lalu, karena lalai, aku kehilangan Nita selamanya. Sekarang, aku tidak ingin mengulangi kesalahan itu lagi.”
“Kalau begitu, tunggu apa lagi. Kenapa kamu tidak mengejarnya ?”
“Dia begitu dingin. Tapi mungkin aku tahu alasannya. Aku tidak ingin memaksanya kalau tidak ingin dia menjauh. Kedengaran naif, eh ? Tapi aku mencintainya, berada di dekatnya, aku merasa begitu tenteram, sebuah perasaan yang telah lama hilang bersama perginya Nita.”
“Begitu perasaan itu hilang, muncullah jiwa petualangmu.”
“Aku tidak berani mencintai lagi. Aku takut kalau sudah terikat pada seseorang dan ternyata tidak bisa mencintainya dengan tulus. Jadi sampai hari ini, hanya predikat playboy yang melekat pada aku.”
George tertawa. “Bro .. kamu terlalu menarik untuk dilewatkan.”
“Sialan kamu.”


Ada yang membunyikan bel pintu. May mengintip dari lubang kecil pintu. Jason ! Buat apa dia datang ke sini. May berdiri sangsi. Buka atau tidak buka. Sekali lagi bel berbunyi. May menggerutu, dasar cowok nekat. Sambil bermuka masam, dia membuka gerendel pintu.
Jason tidak memberi May kesempatan untuk menyemprotnya. “Bolehkah aku masuk ? Hanya sebentar saja. Aku akan segera pergi setelah menjelaskan permasalahan kita.”
May melebarkan jalan untuk Jason. “Silakan duduk,” sahut May ogah-ogahan sambil menutup pintu.
“Thanks, tapi aku cuma sebentar saja, jadi aku langsung to the point.” Jason menolak. May mengernyitkan keningnya. Apa lagi yang akan diperbuat dia. Seorang lelaki yang susah ditebak, tapi memang membuat orang penasaran.
“Aku minta maaf atas kejadian waktu itu. Bukan maksudku melakukan pelecehan terhadap kaum wanita. Ataupun memanfaatkan kedudukanku untuk itu.”
May diam. Kejadian itu terbayang lagi di benaknya.
“Memang salahku juga, engkau jadi menghindar dariku. Dan kita berdua jadi tidak tahu bagaimana seharusnya bersikap ketika sedang di kantor.”
“Jadi, apa maksudmu yang sebenarnya,” desis May tajam. Jason tersenyum.
“Kamu ingin tahu alasan sebenarnya ?” Jason berjalan mendekatinya. “ Sederhana, sesimpel yang ingin kukatakan. I love you.”
May menutup matanya. Ini yang paling ditakutkan dia selama ini. Namun tak urung, hatinya bergetar hebat. Ada dua sisi yang sedang berperang di batinnya yang paling dalam. Gadis itu terdiam lama. Dadanya naik turun, terlihat jelas dia sedang berusaha mengendalikan dirinya. Lalu dia menarik napas dalam-dalam sebelum menatap Jason dan berkata, “Pergilah, Jason.”
Jason menyipitkan matanya, “Kenapa ?” Terlihat kilas kekecewaan di matanya, namun dia masih tidak menyerah. “Tidak pantaskah aku bersamamu ?”
May membalikkan tubuhnya, membelakangi Jason. Bahunya mulai bergerak tidak teratur. May, kamu harus kuat, batin gadis itu. Atau kamu akan hancur lagi.
“Aku yang tidak pantas. Seorang gadis yatim piatu, yang tidak pernah tahu asal-usulnya, tidak cukup berharga untuk kamu. Masih banyak gadis lain yang lebih baik, yang pantas kamu cintai.”
“Itu bukan alasan, May. Aku mencintaimu, dan aku tidak peduli dengan latar belakangmu. Aku tidak berhak menentukan masa lalumu. Cukup hanya karena aku bahagia ketika kamu berada di dekatku.”
May menggeleng-gelengkan kepala. Air matanya mulai bergulir. Suaranya bergetar. “Tidak, Jason. Pergilah. Aku tidak pernah pantas untuk kamu cintai. Aku seorang beban masyarakat. Tidak ada seorangpun yang akan sanggup menerimaku dengan tulus. Dan aku tidak ingin membebani orang lain. Tidak siapapun juga. Biarkan aku sendiri, seperti ini.”
Jason menghela napas. “Baiklah. Aku pergi. Permisi.” Lelaki itu membuka pintu dan melangkah keluar. Namun dia menghentikan langkahnya yang sebelah kaki masih berada di dalam rumah May dan memandang ke arah gadis yang masih membelakanginya.
“Aku akan menunggumu. Sampai kamu siap. Apapun yang terjadi, aku tidak akan pergi.” Lalu punggung kokoh itu lenyap dan terdengar pintu ditutup pelan. May terduduk di lantai.
Mengapa kamu memilihku, desah May pedih. Maafkan aku. Aku hanya ingin melewati hari-hari dengan tenang. Aku tidak ingin mencintai hanya untuk ditinggalkan.


“Hei, ada pesta kebun di rumah Cilla,” Sally melempar undangan cantik ke atas mejanya. “Dan kamu diundang, May.”
May mengangkat alisnya, sambil terus mengisi laporannya. “Aku ?” Dia terkekeh sinis. “Tumben. Jangan-jangan kamu salah lihat, sayangku.”
“Suwer,” Sally membuka undangan itu dan menunjukkannya kepada May,” Namamu tertulis besar-besar di sini, dan tadi dia masih sempat pesan secara lisan … ‘bawa May yaaa..’ waktu memberikan ini.”
Cilla, musuh bebuyutan May. Gadis yang berada di bagian akuntansi, dan selalu mencari masalah dengan hasil kerja May. Karena dia yang mengaudit kerjaan May, jadi dia selalu mempersulit May. Awal permusuhan mereka beberapa tahun yang lalu gara-gara kecemburuan Cilla terhadap May yang saat itu baru masuk kerja dikejar oleh Chris. Cilla sangat tergila-gila pada lelaki yang bekerja di divisi ekspor impor itu.
Sejak itu, Cilla selalu mencari celah untuk menjatuhkan dan mempersulit May, kalau bisa mempermalukan gadis itu di depan umum. May curiga terhadap undangan itu. Jangan-jangan ada udang di balik batunya. Apalagi belakangan Cilla juga tergila-gila lagi pada lelaki lain, yang bukan lain adalah Jason. Selain terus-terusan mencari muka di depan manager itu, juga tak henti-hentinya menjatuhkan May di depan Jason. Karena dia tahu kalau mereka berseteru sejak pertemuan meeting yang pertama.
“Aku tidak mau pergi.” tolak May tandas.”Kamu pergi saja dengan Juni.”
“Aku tidak bisa pergi, May,”kata Juni,” Aku harus membawa anakku pergi les berenang hari Minggu ini.”
“Ayo dong, May,” Sally merayu,” ikut ya… Aku kesepian nih. Tidak enak bergabung dengan anak-anak divisi lain.”
“Hei, bilang saja kalau kamu tidak ada yang antar jemput dan mau menumpang mobilku.” May menukas kesal. “Alasan segudang, pakai rayuan segala lagi.”
Sally tertawa keras. “Ketahuan juga rupanya.”
“Siapa yang tidak mengenalmu ? Dasar.” May tersenyum geli. Sally memeluknya. “Thanks ya, sayang. Kamu baik sekali.”


Ramai yang sudah tiba di rumah Cilla yang berbentuk vila. Rumah mewah itu berdiri kokoh dan berkesan angkuh. Seangkuh pemiliknya yang sedang sibuk melayani para tamunya yang bertebaran di halaman vila yang luas.
“Halo,” Cilla yang berpakaian seperti seorang dewi menghampiri May dan Sally yang baru tiba,” Kok telat ?”
“Maaf, Cilla,”Sally tertawa malu,” aku ketiduran tadi,sampai-sampai dimarahi May.” Cilla melirik May, lalu tersenyum. Senyum yang dipaksakan, May menggerutu dalam hati.
“Wah, untung ada May. Ayo, masuk. Mereka sudah di dalam semua. Selamat bersenang-senang.”
Sally melotot ke arah May setelah Cilla membalikkan tubuh. Sebenarnya May yang enggan datang ke sana, dan Sally yang harus mengomelinya lewat telepon. May mengedikkan bahunya dengan ekspresi bosan. Mereka melangkah mengikuti Cilla, bergabung dengan para tamu di dalam taman.
Ada meja besar di tengah taman, berisi deretan makanan yang mengundang selera. Di sampingnya berdiri beberapa tenda, tempat untuk memanggang, dilengkapi dengan koki yang siap memanggang ayam ato daging pilihan tamu. Dekat pintu masuk rumah ada setumpuk hadiah yang dibungkus dengan cantik. Sally menarik May ke arah meja yang berisi makanan. “Ayo, aku sudah lapar, energiku sudah habis setelah mengomelimu tadi.”
Brian menyenggol Jason dengan pelan, “Lagi memperhatikan siapa ?” Jason mengalihkan pandangannya ke Brian. “Gadis itu masih tetap cantik.”
“Ya,” Jason meneguk minumannya. Keduanya sedang duduk di pojok taman, sedikit menjauh dari keramaian. May tidak menyadari kehadirannya. Gadis itu sedang mengisi piringnya dengan makanan, lalu pergi mencari tempat duduk di bagian taman yang lain bersama Sally.
“Dan tetap aneh,” sambung Brian. Jason menatapnya dengan tajam. Brian sedikit tersentak dengan tatapan itu. Begitu menusuk. “Dan kamu juga ikutan aneh.”
“Dia tidak aneh,” Jason menghabiskan minumannya. “Dia hanya seorang gadis biasa.” Brian menggeleng-gelengkan kepala.
“Terserah.”


Suara Cilla lantang terdengar di tengah-tengah dengungan suara para tamu. “Teman-teman, sekarang sudah tiba waktunya aku membagi-bagikan hadiah untuk setiap tamuku. Coba lihat di sana, sudah teronggok tumpukan kado-kado cantik sebagai souvenir. Isinya berbeda-beda, dan syaratnya setiap kado harus dibuka oleh penerimanya, dan harus memakai atau mengenakan apapun isi yang ada di dalamnya.” Semua yang hadir mulai mengelilingi Cilla. Jason dan Brian masih tetap di tempatnya, “Malas bergabung dengan mereka. Pening,” kata Jason.
“Wah, kalau di dalamnya itu pakaian dalam, bagaimana,” celetuk seorang tamu pria. Para hadirin tertawa. Cilla terkekeh. Dan mulai membagi-bagikan hadiahnya. “Ayo.. harus dibuka di tempat juga ya.” Setiap bungkusan sudah tertera nama penerimanya. Gadis itu membacakan namanya dan mencari si empunya.
“Eh, aku dapat kacamata plastik merah,” seru seorang tamu. “Aku dapat kumis palsu, hahaha…” “Ini apa, wig rambut ?”
Kado untuk Jason spesial diantarkan kepada lelaki itu oleh Cilla. Isinya sebuah bantal mungil berbentuk hati. Brian tertawa geli. “Untukmu.” Jason melemparkan bantal itu kepada Brian.
Asistennya terkekeh. “Aku tidak menerima bantal cinta dari laki-laki. Aku ini penggemar wanita.”
May mendapatkan hadiahnya, pada giliran terakhir. Sally memperoleh topi lucu dari kain flannel. “Ayo, buka hadiahmu.”
May mengoyak kertas pembungkusnya. Sedikit tercium bau tak sedap samar-samar. Bulu kuduknya mulai merinding. Namun Cilla juga ikut memaksanya membuka. Diangkatnya tutup kotak. May menjerit dengan keras dan melempar kotaknya ke tanah. Isinya ikut berhamburan keluar. Dua ekor marmut putih bernoda darah yang telah mati, dengan usus terburai ke luar.
Jason mendengar jeritan itu. Serta-merta dia bangkit dari tempat duduk. Di sana, tiba-tiba terjadi kehebohan. Tamu-tamu mulai berkerumun. Terdengar seruan Sally yang panik dan suara Cilla yang terbahak-bahak keras. Jason segera berlari ke arah kerumunan itu dan berusaha mencapai pusat kejadian. Di sana, May terbaring, dengan kejang-kejang. Bibirnya bergetar keras. Di sampingnya Sally berlutut sambil menggoyang-goyangkan tubuh May.
“Lihatlah, gadis itu, penakut berat,” Cilla sengaja memperkeras suaranya begitu mengetahui kehadiran Jason. “Sampai kejang-kejang begitu.”
“Apa yang kamu lakukan,” desis Jason yang segera mendekati Cilla dan memandangnya dengan tatapan dingin yang membekukan lutut Cilla. “Kamu bukan manusia.”
Lalu lelaki itu segera berlutut dan memeluk tubuh May yang masih bergetar keras. Diambilnya sesuatu dari kantong celananya. Sebuah kotak kecil hitam. Jason mengeluarkan isinya dengan cepat dan menjejalkannya ke bibir May. Dan membiarkan May menggigit benda itu. “BRIAAAN !!”
“Kenapa ini, Jason,” tiba-tiba Brian sudah berdiri di belakang Jason dengan terengah-engah. Pandangannya penuh tanda tanya.
“Nyalakan mobilmu, SEKARANG JUGA!” Jason mengangkat dan memapah May sambil berjalan ke arah pintu pagar. “Cilla, buka pintu itu !!”
Cilla yang dari tadi terpaku, tiba-tiba tersadar dan tergopoh-gopoh mencari kunci pintu otomatis. Dia tidak menyangka, reaksi Jason yang begitu keras dan dingin, jauh berbeda dari bayangannya pada saat dia sedang merancang permainan ini. Dia mengira Jason akan ikut tertawa bersamanya, lalu bertepuk tangan geli.
Brian segera menyalakan mobilnya, Jason memapah May ke dalam belakang mobil, lalu dia ikut masuk. “Rumah sakit terdekat, Brian.”
Tanpa berkata apa-apa asistennya menjalankan mobilnya. Dari kaca spionnya dia memperhatikan ekspresi kuatir Jason yang tidak melepaskan pandangan dan pelukannya dari gadis itu.


Ruangannya begitu samar, dan bau obat begitu menusuk. Di mana aku, May ingin bertanya, tapi tidak ada suara dari tenggorokannya yang keluar. Dia menutup matanya lagi untuk mengumpulkan kemampuan untuk melihat dengan lebih jelas. Lalu dia membuka kelopak matanya.
Ada wajah Jason di sana. Mimpikah aku, batin gadis itu. Atau aku sudah mati.
“May… “ suara Jason yang lembut namun terdengar jelas menyebut namanya. Lalu dia merasakan hangatnya genggaman Jason. Berarti aku belum mati, pikir May. Tapi mengapa aku terbaring di sini.
Dia menatap Jason. Lelaki itu kelihatan agak lusuh dan wajahnya menyiratkan rasa cemas yang tidak sanggup dia sembunyikan. “Apa yang terjadi ?” tanya May lemah.
“Kamu tadi di rumah Cilla, dan penyakitmu kambuh.”
“Penyakitku ?” May tertawa lemah. Ada rasa hambar di sana. Dia mulai ingat lagi kejadian tadi. “Pemandangan yang menarik, bukan ? Cocok buat bahan lelucon.”
“Ya, memang sebuah lelucon,” jawab Jason. “ Tapi bukan untukku.”
Lelaki itu menatapnya lekat-lekat. “Aku tahu kamu menderita penyakit itu. Tapi mengapa kamu menyembunyikannya dari orang lain.”
“Buat apa memberitahu orang ? Itu hanya akan membuatku semakin menderita dan menjadi bulan-bulanan,” May menjawab dengan tanpa ekspresi. “Cilla memberitahu kamu, bukan ?”
“Aku mengetahuinya, sejak kejadian di areal parkir itu.”
May membesarkan bola matanya. “Begitu tajamkah instingmu ?”
“Aku pernah sangat akrab dengan penyakitmu itu, sepuluh tahun yang lalu,” Jason tertawa sedikit pedih, dia merogoh kantongnya dan memperlihatkan benda yang tadi dijejalkan ke bibir May.“Ini, saksinya. Dan benda ini juga yang tadi kamu gigit ketika tidak sadarkan diri. "
"Benda apa itu," May memperhatikan benda persegi yang kenyal seperti karet berwarna merah muda.
"Untuk mencegah tergigitnya lidah.
Sejak kapan kamu terkena serangan itu ?”
“Ketika aku masih di sekolah menengah. Kepalaku mengalami benturan keras saat kecelakaan sewaktu dibonceng teman sekelas. Sejak itu, serangan itu mulai menerorku. Apalagi ketika aku melihat darah dan isi perut yang menjijikkan itu. Urat syarafku langsung berada di luar kendali kesadaranku.”
“Jadi itulah alasanmu menolakku ?”
“Jason, dunia ini sekarang sangat realistis,” balas May pahit,” Siapa yang ingin menjadi penanggung beban ? Pacaran dan menikahi seorang gadis penderita epilepsi yang setiap saat bisa kambuh dan mempermalukan pasangannya itu, adalah pilihan terakhir setiap lelaki.”
May benci mengingat kembali ketika Eddy meninggalkannya begitu saja, sehari setelah dikagetkan oleh kambuhnya penyakit itu di rumah orang tua Eddy. “Maaf, aku tidak sanggup lagi bersamamu,” itu kata terakhir Eddy sebelum lelaki itu menghilang untuk selamanya,. Saat itu, May sudah tamat dari sekolah dan sedang kuliah. Dan sejak itu juga, May menutup hatinya untuk lelaki, rapat-rapat.
“Bukankah hari itu aku sudah memberitahu kamu, apapun yang terjadi aku tidak akan meninggalkanmu ?” May masih ingat. “ Dan aku juga tidak akan pergi, saat ini.”
“Sanggupkah kamu dibebani oleh aku yang tidak berguna ini ? Please, jangan mengatakan semuanya ini, hanya kelak untuk menoreh luka. Aku sudah sangat puas dengan diriku saat ini, dan juga sangat senang tidak menjadi beban siapapun.”
“Percayalah kepadaku,” kata Jason lembut, “berikan kesempatan kepadaku. Bukalah pintu hatimu, biarkan aku masuk.”
“Aku sudah kehilangan seseorang, yang juga penderita epilepsi, gara-gara kelalaianku menjaganya,” lanjut lelaki itu,” dan Tuhan menghukumku selama sepuluh tahun dengan rasa bersalah yang tidak pernah hilang.”
May mengerjapkan matanya, menunggu.
“Aku meninggalkannya begitu saja ketika kami sedang bertengkar, di tepi jalan. Ternyata dia kambuh ketika sedang berusaha mengejarku. Dan, “ Jason menutup matanya,” dia ditabrak mobil yang sedang lewat. Nyawanya tidak tertolong sebelum sampai ke rumah sakit.”
Jason menutup wajahnya. “Aku penyebab kematiannya. Dan aku tidak pernah memaafkan diriku. Dia orang yang paling kucintai, dan aku yang membunuhnya. Seharusnya aku menjaganya dan berada di sisinya saat dia sedang dalam keadaan paling lemah.”
Lelaki itu mengangkat kepalanya. “Aku tidak pernah mencintai gadis manapun lagi, sejak saat itu. Aku takut, aku akan melukai mereka lagi. Aku memang pengecut. Tapi, setelah kejadian malam itu, ada rasa damai ketika kamu sedang di pelukanku. Aku tahu, sudah saatnya melepaskan ketakutan itu, dan kembali mencintai seseorang.”
“Walaupun aku penderita epilepsi ?” Jason membelai rambut May.
“May, mencintai seseorang, bukan karena kesempurnaannya,” bisik lelaki itu, ”namun adalah bagaimana mencintai seseorang karena ketidaksempurnaanya.”
Mata May berkaca-kaca. “Apakah kamu akan meninggalkan aku suatu hari kelak ?
“Gadis bodoh,” Jason menjawil pipi May, “ aku tidak akan berada di sini kalau memang aku tipe lelaki seperti yang kamu kuatirkan itu.” May tersenyum malu.
“Apapun yang terjadi, aku tidak akan pergi dari sisimu,” Jason mendekatkan wajahnya ke wajah May,” aku mohon, beri aku kesempatan. Atau aku juga tidak akan pergi dari kamar ini.”
May tertawa geli. Diacak-acaknya rambut Jason. “Ya, jangan pergi dari kamar ini, sampai kamu diusir suster karena mengganggu pasien.
“Oke,” Jason tertawa nakal, “Memang aku berniat mengganggu pasien bandel ini."
Tiba-tiba dia menangkap kedua bahu May dan mencium bibirnya sampai gadis itu tergelagap. Namun kali ini dia tidak mendorong tubuh lelaki itu lagi. Dia membiarkan Jason melumat bibirnya. Dan dia menyukainya. Begitu hangat, begitu indah. May tahu, kepada Jason hatinya berlabuh.

Thursday, September 4, 2008

Surat Untuk Mama

Ma, aku tahu penderitaanmu sewaktu melahirkan aku ke dunia ini
Tiga hari tiga malam kesakitan terus menerus
Sebelum akhirnya aku hadir di tengah-tengah keluarga ini

Ma, engkau sibuk memasakkan makanan yang bergizi untukku ketika masih kecil
Menjagaku agar tetap sehat
Merawatku dengan telaten dan sedikit kekuatiran khas seorang ibu ketika aku sakit
Dan aku sangat berterima kasih

Aku tidak ingin menyalahkan engkau,
Walaupun engkau tidak pernah mendidik aku cara bersikap dan tata krama sewaktu kecil
Meskipun engkau tidak memberi perhatian khusus kepadaku
Pada keinginan seorang bocah kecil yang tidak disadarinya saat itu
Kalau dia ingin dibelai
Kalau dia ingin didengarkan
Karena engkau terlalu sibuk
Sibuk memasak, sibuk dengan pekerjaan rumah tangga, sibuk dengan adik-adikku yang lain, dan sibuk mencari penghasilan tambahan
Setiap hari, dari pagi hingga malam, engkau terus berkutat di dapur, di kamar, dan di depan mesin jahit
Dan juga terus berkubang dalam lingkaran sakit hati terhadap orang-orang yang menyakiti hatimu

Engkau memang tidak pernah membiarkan kami kelaparan dan menelantarkan sekolah kami
Tapi engkau tidak pernah tahu
Apakah kami sempat mandi hari itu ?
Apakah kami sempat diusir tetangga karena bertamu hingga tak tahu waktu ?

Aku juga tidak menyalahkan engkau
Walaupun setelah beranjak remaja engkau tidak menanamkan pendidikan moral kepadaku
Tidak mendidik aku memilih teman pria yang benar
Hanya satu kata, “Jangan menjadi perempuan yang mata duitan”
Dan engkau juga masih sibuk di dapurmu, di depan mesin jahitmu, dan masih berkubang dalam kebencian pada orang-orang itu

Engkau menganggap aku telah mengerti segalanya
Engkau membiarkan aku berjalan ke sana kemari, seperti anak ayam kehilangan induk
Walaupun aku sudah kelihatan dewasa
Aku masih butuh bimbingan
Aku ingin didengar
Banyak pergolakan batin di hatiku saat itu, pendidikanku, dan pergaulanku
Karena aku bingung menentukan langkahku, terjebak di antara masa kanak-kanak dan dunia dewasa yang membingungkan

Memang, akhirnya aku salah langkah
Aku salah memilih pasangan hidup
Dan berpisah

Aku tidak ingin menyalahkan siapa-siapa
Aku hanya ingin memperbaiki kesalahanku
Aku ingin belajar dari kekuranganku dan bangkit untuk lebih baik lagi

Namun engkau menyalahkan aku
Aku terlalu bodoh, mataku buta diolesi kotoran kerbau memilih pria buruk rupa itu sebagai suami
Dan lagi-lagi menyalahkan aku karena menolak jodoh dari kalian, yang lebih baik dan kaya

Lalu engkau terjebak hutang yang dibuat papa saat itu
Sebuah hutang yang seharusnya tidak pernah terjadi, dan tidak sepantasnya terjadi
Kalian panik, dan sibuk ke sana ke mari mengali lubang untuk menutup lubang

Ma, aku mengerti kesulitan kalian
Dan aku tidak ingin membebani kalian
Aku sendiri juga tengah berjuang, mencari uang untuk menghidupi aku dan anak-anak
Tapi, dengan pendidikanku yang gagal, seberapa besarkah gaji yang kubawa pulang ?

Ma, engkau tidak pernah tahu
Betapa sering di tengah malam aku menangis diam-diam
Menguatirkan masa depan anak-anak
Mencemaskan uang di tangan yang hanya cukup untuk sarapan besok pagi
Sedangkan uang sekolah anak-anak belum dibayar
Sehingga terkadang, aku tidak memiliki sisa uang untuk diberikan kepadamu
Terkadang anak-anak harus memakan berasmu

Ketika aku mendapatkan pekerjaan yang lebih baik
Engkau menyalahkan aku , mengatakan aku egois
Tidak mempedulikan kesengsaraan papa dan membayar hutangnya

Ma, uang itu untuk masa depan anak-anak
Aku tidak ingin mereka bernasib sepertiku
Hutang papa itu karena kelalaiannya sendiri, berfoya-foya di luar
Membagi-bagikan uangnya seperti seorang santa
Terpuruk ditinggalkan orang-orang setelah bangkrut

Aku bukan tidak peduli,
Aku membawamu berbelanja kebutuhan sehari-hari
Aku membawamu pergi ke restoran mewah kesukaanmu
Tapi mungkin itu masih belum cukup buatmu, karena menurutmu – anak-anakku memakan berasmu.

Begitu terpojoknya engkau oleh hutang papa, yang diperparah oleh penyakit kankernya
Sehingga engkau diam saja, mendukung papa dan keluarga
Agar aku menjadi perempuan simpanan
Karena pria itu, menawarkan rumah untukku kalau aku bersedia dipelihara
Karena kalian sudah kehilangan rumah
Digadaikan untuk menutup hutang

Tiap hari, kalian mengejarku
Uang dan rumah yang tak kunjung datang
Tapi kalian tidak pernah bertanya kepadaku
Bagaimana perasaanku yang sebenarnya

Ma, tahukah kamu, aku menangis diam-diam tiap kali bersama pria itu
Hatiku terluka berdarah tiap kali menghabiskan waktu bersamanya.
Pria itu, yang tidak pernah kucintai dengan sepenuh hati.
Dan aku tahu aku dibohongi, karena dia hanya ingin tubuhku belaka
Rumah itu tak pernah akan ada
Hanya karena kalian, mengatakan aku anak tidak berbakti kalau aku tidak ikut membantu keuangan kalian yang morat marit.
Mengatakan aku sebagai parasit, yang menggerogoti berasmu bersama anak-anakku

Ketika hati kecilku yang sudah memberontak itu menang
Kalian marah
Kalian menudingku sebagai anak tidak berguna.
Papa mengutukku sebagai anak durhaka, sesaat sebelum beliau menghembuskan napas terakhirnya

Dan engkau semakin tenggelam dalam kubangan kebencian usang terhadap orang-orang yang menyakitimu puluhan tahun yang lalu.
Dan dalam daftar orang-orang itu juga mungkin bertambah satu lagi
Yaitu diriku

Ma, aku tidak mengerti
Dulu, kalian mengajarkan aku agar tidak materialistis
Uang bukan segalanya, itu kalimat kalian berdua setiap kali sewaktu aku masih kecil
Tapi, mengapa aku harus menggadaikan harga diriku demi hutang itu
Mengapa

Hari ini, aku pergi jauh
Meninggalkanmu dengan berat hati
Tapi aku harus pergi
Aku tidak sanggup berada di tempat yang dulu kuanggap sebagai rumah itu lagi
Aku tidak sanggup membohongi nuraniku sendiri
Aku pergi, mencari jati diriku sendiri
Jati diri seorang perempuan yang memiliki harga diri dan masa depan
Aku tidak ingin pulang
Karena engkau masih akan menyuruhku menggadaikan harga diriku

Di sini, walaupun aku makan dan hidup sederhana
Aku menemukan harga diriku dan aku bisa mendongakkan kepalaku tinggi-tinggi
Dan anak-anak sudah mendapatkan tempat mereka yang layak

Ma, aku tidak menyalahkan dirimu
Engkau juga manusia biasa, sama sepertinya aku
Yang bisa melakukan kesalahan dan tidak sempurna
Aku tidak ingin menghakimi engkau, seperti halnya aku juga tidak ingin dihakimi siapapun
Hanya Tuhan yang boleh menghakimi makhluk ciptaanNya
Aku hanya bisa memperhatikan dari kejauhan, dari lautan seberang
Diam-diam menitipkan sedikit biaya untukmu
Juga menitipkan cinta kepada angin yang bertiup